Kecerdasan emosional (EQ) mengenal lima aspek, dimana antara
satu aspek dengan aspek lainnya saling berhubungan. Dimulai dari kemampuan
mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengolah dan mengekspresikan emosi
dengan tepat, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengenali emosi
orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Untuk bisa
menguasai kemampuan mengenal emosi orang lain, anak harus terlebih dulu
memiliki kemampuan mengenali emosi dan mengolah emosi sendiri, selain juga sudah
memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri.
EQ yang baik merupakan kunci sukses anak saat bersosialisasi.
Jadi, kenali dan ketahui cara menstimulasi EQ di setiap tahapan usia. Dengan
begitu, kecerdasan emosi anak bisa maksimal.
1. BAYI
Bayi baru sebatas mampu melakukan sesuatu yang didapatnya
dari proses imitasi, ekspresi dasar seperti senyum sosial. Bayi yang
sedikit-sedikit menangis menandakan bahwa EQ-y baik. Justru apabila bayi buang
air kecil tanpa menangis, perlu dipertanyakan. Itu salah satu ciri si bayi
belum mendapatkan stimulasi tentang emosi. Bayi mengenal dirinya sendiri dengan
cara bagaimana orang tua dan pengasuhnya memperlakukannya. Apa yang dilakukan
orang sekitar dipelajari sebagai pesan bagi dirinya. Karena itu, peluk, cium,
dan kata-kata penuh kasih sayang harus terus dilakukan. Jangan lupa untuk
mengenalkan aneka ekspresi emosi kepada bayi. Bayi harus sudah dikenalkan
dengan ketekunan, sebuah modal awal untuk kemampuan memotivasi diri. Misal,
seorang bayi yang sedang belajar jalan, diharapkan orang tua tidak berhenti
memberi motivasi hingga si kecil berhasil berjalan. Agar kemampuan
sosialisasinya berkembang orang tua bisa mengajak bayi berjalan-jalan bertemu
dengan banyak orang atau teman-teman sesama bayi.
2. BATITA
Di rentang usia 1-3 tahun, anak mulai bersosialisasi, mulai
diajarkan mana yang boleh dan tidak boleh. Jadi, setiap kali ekspresi emosi
orang tua muncul seperti marah, senang, kesal, dan sebagainya, harus diutarakan
alasannya kepada anak. Begitu pula saat anak mengeluarkan ekspresinya, berikan feedback
kepadanya. Dengan begitu, anak bisa mengenali dirinya, mengolah, serta
mengekspresikan emosinya dengan baik. Anak juga perlu diajarkan mengendalikan
emosinya. Misalnya, saat anak ngambek karena tidak diperbolehkan makan permen,
anak boleh protes atau menangis namun tidak boleh berlebihan seperti berteriak
atau memukul Ibunya. Alangkah baiknya jika ibu mendekap anak dan
menenangkannya, dan beri penjelasan sederhana tentang larangan tersebut.
Sehingga anak bisa menjaga emosinya agar tidak meledak-ledak saat sedang resah
atau menghadapi kesulitan.
Di usia ini anak sudah mengenal istilah bermain. Orang tua
bisa memanfaatkannya untuk mengenali emosi anak dengan bermain pura-pura,
membuat beraneka bentuk wajah emosi, membaca buku yang mengandung nilai moral
bersama atau bermain berkelompok.Asah juga kemampuan sosialisasinya dengan
mengajak anak bermain bersama anak-anak seusianya. Di usia ini anak masih
egosentris, namun dengan melibatkan anak-anak lain bisa mengasah kemampuannya
dalam berteman.
3. PRASEKOLAH
Pada tahap ini anak sudah berempati atau kemampuan mengenali
emosi orang lain. Orang tua maupun guru sudah waktunya untuk mengajarkan
berbagi, antri, atau menunggu giliran. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru
harus pandai-pandai memberikan stimulasi dan feedback pada anak,
khususnya saat anak sedang menghadapi konflik. Contoh, saat anak merebut mainan
dengan temannya. Orang tua harus bisa memberikan pandangan bahwa yang namanya
menyelak itu tidak baik, karena diselak itu tidak enak, serta minta anak untuk
bisa bergiliran. Kunci berempati ialah kemampuan membaca pesan non verbal,
seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan lain-lain. Untuk mengasah
hal ini, orang tua harus ekspresif di depan anak, tanpa lupa menjelaskan arti
dari ekspresi emosi tersebut. Ajarkan pula anak untuk mengelola emosinya. Salah
satunya dengan diarahkan pada kegiatan seperti menggambar. Biasanya menggambar
efektif sebagai media katarsis atau media untuk meluapkan perasaan ketika
sedang gelisah. Selain itu, ajari anak untuk bisa melakukan relaksasi ketika ia
sedang marah. Orang tua bisa mengusap-usap punggung anak agar tenang.
Tingkatkan juga kemampuan sosialisasi dan interaksi anak. Dengan interaksi
tersebut, anak tahu emosi yang dimiliki dirinya juga orang lain. Biasakan anak
untuk bermain dan berbaur dengan anak-anak sebayanya. Undanglah teman-temannya
ke rumah, buatlah aktivitas berkelompok seperti bermain peran bersama atau
sekadar bermain bola.
4. SEKOLAH
Anak sudah bisa berpikir abstrak dan bisa memahami hubungan
sebab akibat. Mereka juga lebih banyak mengikuti teman sejatinya atau peer
group, karena rasa kebersamaannya cukup kuat. Anak biasanya akan cenderung
mengikuti apa yang dikatakan atau diinginkan temannya dibandingkan dengan yang
diharapkan orang tuanya, sehingga secara emosional mereka lebih mudah
menunjukan respons secara aktual jika menghadapi masalah. Untuk mengajari
emosinya, orang tua perlu berperan sebagai ”sahabat” atau ”teman” yang bisa
mendengarkan permasalahannya. Kenali emosi anak dan identifikasi sumber masalah
secara bersama-sama, lalu diskusikan kemungkinan jalan keluar yang tepat.
Latihan-latihan body awareness seperti yoga for
kids, hingga teater, drama, musik, semua itu sangat baik karena anak
belajar dan akan mengenal emosinya, mengekspresikan emosi, mengendalikan
emosinya, bahkan mengenal emosi orang lain. Selain itu, kemampuan bicara anak
usia ini sudah berkembang sangat baik dan kompleks seperti orang dewasa. Jadi,
tingkatkan kualitas komunikasi dengan anak lewat private time sebelum
tidur. Lakukan selama 10-15 menit mengenai apa saja yang ia rasakan selama
aktivitasnya seharian, berikan feed back positif pada hal-hal yang ia
rasakan. Jika perlu mulailah dari diri sendiri untuk memancing anak agar
mengungkapkan apa yang ia rasakan.
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Post a Comment